Kisah Hidup Yulianto, Berniat Sedekah Dapat Apartemen di China

Kisah Hidup Yulianto, Berniat Sedekah Dapat Apartemen di China - Dunia ini memang penuh dengan misteri dan ketidakpastian. Tapi janji Tuhan tidak pernah meleset. Itulah yang dialami Yulianto, pria sederhana asal Kebumen. Berbekal keikhlasan, kini memiliki apartemen di Beijing, China yang disewakan seribu dolar per bulan.

Awalnya hanyalah sebuah mimpi anak kampung miskin yang ingin suatu ketika bisa bersedekah. Bukan hanya bisa menerima zakat dan infak dari orang lain. Tetangga di depan rumahnya yang tiap tahun membagikan beberapa kuintal beras saat Idul Fitri tiba, memotivasi Yulianto kecil ingin mengikuti jejaknya.

Sebagai anak desa yang ‘katrok’, ia kemudian datang ke seorang kyai yang dihormati di daerahnya. Dari pak tua, Yulianto mendapatkan nasehat cukup unik: berpuasalah beberapa tahun tanpa jeda niscaya mimpimu akan terkabul. Tanpa banyak kalam, ia melaksanakan nasehat dengan berpuasa selama 3 tahun, dari 1988-1990. “Saya hanya berhenti puasa pada hari-hari yang dilarang puasa,” kenangnya.

Nasib ayah dua anak berbadan tegap ini kemudian tiba-tiba bergulir. Tidak lama setelah berpuasa panjang, ia diterima bekerja sebagai pegawai klerikal pada sebuah institusi di ibukotaChina dengan gaji yang tidak besar. Namun berbekal semangat, ia tetap ingin mengabdi buatkampung halamannya. Itulah sebabnya, sejak tinggal di China, ia setiap tahun rutin mengirim beras buat tetangganya. Bukan hanya berjumlah kuintal tapi meningkat pada ukuran ton, plus korban beberapa kambing dan kadang sapi.

Keberuntungan tidak berhenti disitu. Tidak lama setelah tiba di Beijing, Yulianto kesengsem dengan gadis muslim negeri Tirai Bambu yang bernama Jin Xiao, atau seriang dipanggil Dzakiah. Cinta tidak bertepuk sebelah tangan. Pernikahan antara keduanya disyahkan pada 12 Desember 1994 dan mereka kemudian mengarungi hidup seadanya tanpa membebani siapapun. Dua anak dengan mata sipit, satu laki dan satu perempuan melengkapi hidupnya.

Hidup kost di negeri orang memang tidak nyaman. Uang hasil kerjanya tiap bulan lebih banyak dibelanjakan untuk sewa apartemen. Tabungan yang dikumpulkan tidak kunjung manumpuk. Kenyataan itulah yang mendorong keluarga Yulianto memberanikan diri untuk mencicil apartemen pada tahun 1996.

Sebuah apartemen dengan luas 138 meter dengan tiga kamar jadi incarannya. Berbekal uang tabungan keluarga, Yulianto membayar 20 persen dari harga apartemen. Dalam perjanjian dengan bank, ia harus menyicil selama 15 tahun. Tanpa dinyana, diam-diam mertua Yulianto memperhatikan perjuangan keluarga anaknya. Setelah dua tahun mengangsur, sang mertua tiba-tiba memberi uang untuk pelunasan apartemen tanpa persyaratan apapun.

“Saya tidak menyangka semua ini terjadi. Semua karena kemurahan Ilahi. Apalagi pada tahun 1999, nilai apartemen itu naik tiga kali lipat dari harga aslinya. Dan karena pertumbuhan ibukota, tahun ini harganya meroket empat kali lipat. Kini,uang sewa apartemen terus mengalir sebanyak 1000 dolar per bulan,” ujar pria yang sudah 21 tahun tinggal di Beijing ini.

Meski tetap jadi pegawai rendahan, namun rezekinya terus membanjir dari tempat-tempat yang tidak pernah dibayangkan. Ia selalu ringan tangan membantu siapapun yang memerlukan. Bahkan juga bagi para turis Indonesia yang sedang berlibur di ibukota negeri panda.

Yulianto yang orang kampung Kebumen ini sekarang merasa terus bersyukur atas nikmat Tuhan. Selain apartemen di Beijing, ia punya ladang cukup luas di Kebumen dan tahun lalu mampu membeli seribu meter tanah di Jatiasih, Jakarta.

Baginya hidup ini penuh keberkahan. Istrinya yang taat beragama dinilai memberi hoki tersendiril dalam hidupnya. Kedua anaknya rajin berpuasa memberi kepuasan tersendiri. Namun diatas semua itu ia berpikir bahwa keikhlasan akan berbuah sesuatu yang besar dan tidak pernah terbayangkan. Tuhan akan membalas keikhlasan hambanya berlipatganda.

Yulianto kini sudah cukup bahagia bisa memberi tanpa harus berharap dari siapapun. Bagi orang kampung seperti dia, cita-cita atau mimpi-mimpinya sudah terkabul. Ia hanya ingin terus bersedekah agar bisa membantu lingkungannya. Yang menggelayut dalam pikirannya sekarang hanya satu: “Kalau saya mati, saya pasti tidak bisa lagi mengirim beras dan menyembelih kambing dan sapi untuk orang-orang di kampungKebumen”.

*Penulis adalah WNI tinggal di Moskow, ajimoscovic@gmail.com

Related

Renungan 8296524992723084230

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

item